Nenek Misterius

Aku lupa entah sudah berapa lama akrab dengan sosok wanita tua berkulit putih dan bermata sipit ini. Setiap pagi tatkala aku menjemur baju atau menyapu halaman, senyuman manisnya sering menyapaku. Tidak ada kata-kata, hanya anggukan kecil dan lambaian tangan. Prosesi itu berlangsung lama, bahkan ketika kami sekeluarga pindah rumah ke blok belakang, dia masih setia menyapaku setiap pagi dan sore.

Setelah dua tahun bermukim di negri jiran Malaysia, mendampingi suami yang melanjutkan study. Kami memutuskan untuk pindah rumah di luar kampus. Sebelumnya kami menempati rumah di asrama mahasiswa yang disediakan kampus. Namun, karena terjadi kenaikan sewa yang cukup tinggi, kami pun terpaksa mencari rumah sewa di luar. Beruntung sekali ada dosen pribumi yang melanjutkan study ke Inggris dan dia menyewakan rumahnya dengan harga sangat murah. Sejak saat itulah aku mengenal sosok wanita tua berkulit putih dan bermata sipit itu.

Sosoknya sangat menarik perhatianku, karena dia berbeda dengan penduduk pribumi lainnya. Wanita ini ramah, bersahabat dan kelihatan sangat penyayang. Sosoknya bersahaja dalam balutan busana yang sederhana. Celana hitam, atasan putih dengan bunga-bunga kecil  berwarna lembut, sepatu hitam tipis khas negri tirai bambu menjadi ciri khas penampilannya.

Setiap pagi dan sore hampir tidak pernah absen wanita itu lewat di depan rumahku. Dia akan berhenti sejenak di depan pagar rumahku, kemudian melambaikan tangan sambil tersenyum ramah. Aku tentu saja sangat antusias membalas lambaian tangannya dan melempar senyuman termanis padanya.

“ Hai, apa kabar? “  Sapanya dalam aksen Cina yang sangat kental

“ Baik, nak pergi mana ? “ jawabku sambil menatapnya takjub.

Wanita itu tidak pernah menjawab hanya menunjuk ke depan, kemudian berlalu sambil melambaikan tangan. Dia melanjutkan jalan dengan perlahan dan hati-hati. Jalannya sudah tertatih-tatih dengan kaki membentuk huruf O. Nampak sudah renta dimakan usia, namun wajahnya menampakan guratan semangat yang luar biasa. Sosok barsahaja itu menyimpan misteri tersendiri. Apa yang dilakukannya tiap pagi dan sore ? Apa hanya sekedar jogging ?

Suatu pagi aku ke pasar sendiri dengan berjalan kaki, biasanya suami setia mengantar. Namun pagi itu aku ingin jalan kaki ke pasar yang letaknya tidak terlalu jauh. Itung-itung olahraga pagi, pikirku. Setelah melewati deretan rumah satu lantai, aku menyusuri jalan yang lebih besar di samping kanan berderet rumah tingkat yang cukup mewah. Mataku menangkap sosok yang tidak asing lagi. Wanita berbaju putih dengan aksen bunga-bunga kecil, bercelana hitam dan beralas kaki sepatu hitam. Dari jauh terlihat wanita itu sedang mengorek-ngorek tempat sampah. Nampak dia memasukan sesuatu ke dalam tas plastik hitam yang dipegangnya. Kemudian dia menyebrang jalan dan memungut gelas minum kemasan yang sudah kosong.

“ Oh… ternyata dia pemulung, “ pekikku dalam hati.

Terjawab sudah rasa penasaranku selama ini pada sosok wanita berkulit putih dan bermata sipit itu. Sepanjang perjalanan ke pasar aku tak lepas memikirkannya. Timbul pertanyaan-pertanyaan baru dalam benakku.

“ Kenapa dia harus jadi pemulung ? kemana anak-anaknya ? apa dia sebatang kara ? “

Dari penampilannya yang sangat bersih dan rapih, aku tidak percaya kalau dia seorang pemulung. Tapi dengan mata kepalaku sendiri, aku menyaksikannya. Dia memungut barang-barang dari tong sampah dan jalanan. Apabila diingat-ingat, setiap lewat di depan rumah tangan wanita itu tidak pernah kosong. Selalu menenteng tas plastik besar di tangannya. Berarti dia benar-benar pemulung! Sungguh ajaib, negri ini begitu makmur, selama ini aku jarang sekali melihat pemulung atau gelandangan.

Seandainya dia benar-benar pemulung, alangkah malang nasibnya. Di hari tuanya seharusnya dia berada di rumah yang sejuk. Dalam belaian kasih anak-anak dan cucunya. Bukan berada di jalanan yang panas dan bising.

Sejak  melihatnya memungut barang-barang bekas di jalanan, aku lebih memperhatikannya lagi. Setiap dia lewat di depan rumah, aku selalu memperhatikan bawaannya dan apa yang dia lakukan. Semakin terang bagiku, bila dia memang seorang pemulung. Dalam tas plastik yang selalu dibawanya, dipenuhi dengan gelas dan botol bekas minuman kemasan. Terkadang terlihat dia membawa gallon plastik bekas minyak goreng kemasan. Beberapa kali aku tawarkan barang-barang bekas dan dia menerimanya dengan penuh suka cita.

Di pagi yang lain, aku ke pasar dengan berjalan kaki. Selepas belanja, aku bergegas pulang karena takut kepanasan di jalan. Jam Sembilan pagi saja matahari sudah sangat terik bersinar. Sesampainya di belokan terakhir menuju rumahku, mataku manangkap sosok wanita tua berkulit putih dan bermata sipit. Kali ini dia berjalan sambil memegang sebuah sepeda. Jalannya sangat pelan, maka aku berhasil menyusulnya.

“ Hai… “ Sapaku, begitu berada di sampingnya.

“ Hai… “ Jawabnya dengan senyum mengembang.

“ Sepeda siapa ? “ Tanyaku sambil memandang sepeda tua yang dipegangnya.

“ Nak (mau)? Ambilah! “ Jawabnya, sambil menyodorkan sepeda kepadaku. Ternyata wanita tua ini sangat dermawan, dia langsung memberikan sepedanya.

“ No, Aku beli saja ya “

“ Silah, ambilah !”

“ Berapa duit ? “ Tanyaku sambil memandangnya. Wanita itu menggelengkan kepala, maksudnya terserah saja, dia tidak peduli harganya. Aku pandangi sepeda itu, nampak sudah rusak malah mungkin sudah tidak bisa dipakai lagi.

“ Ok… sepuluh ringgit ? “ Kataku memberi penawaran.

“ Ok…ok …” Jawabnya sambil tersenyum bahagia.

Setelah aku menyerahkan uang sepuluh ringgit, wanita itu berkeras mau mengantarkan sepedanya ke rumahku. Aku sudah meminta sepedanya agar  aku yang bawa ke rumah. Tapi dia menolak dengan halus. Aku sebenarnya membeli sepeda itu bukan karena tertarik dengan sepedanya, melainkan kasian melihatnya. Dia nampak kesusahan membawanya, keringatnya sudah bercucuran, pipinya yang putih menjadi kemerahan.

Sesampainya di depan rumahku, dia menyerahkan sepedanya. Dia mengusap tanganku lembut sambil mengacungkan jempolnya. Dia bicara dalam bahasa yang tidak kumengerti, Entah apa maksudnya, mungkin mengucapkan terimakasih. kemudian pamit dan melambaikan tangan. Jalannya pelan dan tertatih, aku menatapnya dengan penuh rasa iba.

Kehadirannya yang begitu misterius mau tidak mau membetotku untuk memikirkannya. Aku menyampaikan tentangnnya pada seorang teman yang sudah belasan tahun menetap di Malaysia. Menurutnya, wanita itu bukan pemulung biasa, melainkan relawan dari yayasan kebajikan. Wanita tua itu mengabdikan sisa hidupnya untuk membantu mencari dana untuk yayasan kebajikan yang menangani para jompo (usia emas istilah di Malaysia). Biasanya para relawan tersebut dibawa oleh mobil khusus, kemudian diturunkan di tempat-tempat tertentu. Pada waktu yang disepakati mereka dijemput dan kembali ke yayasan yang menampung mereka.

Diantara penghuni yayasan kebajikan itu ada yang memang ingin mengabdikan dirinya sebagai relawan. Mereka bisa jadi bukan orang miskin dan terlantar, masih punya keluarga. Tapi mereka pingin memberikan bantuan pada orang-orang yang membutuhkan dengan cara menjadi relawan. Namun banyak juga diantara mereka yang memang ditelantarkan oleh anak-anaknya sendiri, atau sudah tidak punya sanak keluarga.

Aku ingin sekali bertanya pada wanita tua yang sudah aku anggap sebagai sahabat. Apakah dia masih punya keluarga atau hidup sebatangkara. Jika dia sebatangkara, aku ingin memberikan sedikit hiburan padanya. Akan kuberikan bantuan semampu yang bisa aku lakukan.  Namun sosoknya menghilang, entahlah kemana wanita tua itu pergi. Mungkin dia sakit atau dipindah daerah “operasinya”. Aku setia menunggunya, sudah kukumpulkan barang bekas untuknya. Namun dia tak kunjung lewat di depan rumahku.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Tanpa terasa sudah setahun lebih sosok wanita itu menghilang. Diam-diam terselip rasa rindu dihatiku. Rindu senyuman ramahnya yang hangat, rindu lambaian tangannya yang bersahabat. Walaupun tidak tahu namanya, namun wanita tua itu memberi pelajaran berharga padaku. Menjadi tua bukan halangan untuk memberi manfaat pada sesama. Walaupun dengan cara yang dipandang hina oleh banyak orang namun niatnya begitu mulia. Selamat jalan sahabatku, yang tak kukenal namamu.