Menjadi guru pada hakikatnya adalah siap mengabdi pada masyarakat. Turut serta dalam mencerdaskan anak bangsa. Ketika menetapkan pilihan menjadi guru, berarti siap bertugas di mana pun. Dalam kondisi sesulit apapun harus siap melaksanakan tugas mulia. Jangan selalu berharap mendapatkan tempat bertugas yang memiliki sarana lengkap.
Di tanah air tercinta ini, masih banyak tersebar sekolah-sekolah yang sangat minim sarananya. Sekolah-sekolah itu masih tegak berdiri karena pengorbanan dari guru-gurunya. Guru yang masih mengikuti panggilan nurani untuk mengabdi.
Tatkala baru lulus, aku langsung mendapatkan tawaran kerja di sebuah sekolah yang terletak di kampungku sendiri. Sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah yayasan. Sekolah itu sudah berusia tua, berdiri jauh sebelum aku lahir. Namun, walaupun sudah berumur, bukan berarti sekolah itu sudah sangat maju. Bahkan sebaliknya, sekolah peninggalan jaman kompeni itu kondisinya sangat memprihatinkan.
Sekolah itu memiliki tiga ruang kelas, satu ruang guru yang merangkap dengan ruang Kepala Sekolah dan tata usaha. Satu ruangan digunakan untuk perpustakaan. Sekolah ini tidak memiliki WC umum. Antar ruang kelas dibatasi oleh dinding dari kayu, sehingga ketika menulis di papan tulis, suka bergoyang-goyang.
Halaman sekolah hanya berupa sepetak tanah yang ditumbuhi rumput liar. Di sinilah setiap senin pagi kami mengikuti upacara bendera. Halaman ini, sekaligus menjadi tempat bermain para siswa. Seringnya dikuasai oleh para penggila bola, sorak sorai membahana jika berhasil mencetak gol. Sesekali lapangan ini pun digunakan untuk praktek pelajaran olahraga. Walaupun sederhana, lapangan ini banyak jasanya untuk kami.
Kembali ke kelas. Dinding kelas sudah terlalu berumur, sehingga beberapa bagian retak. Pihak sekolah belum bisa mengganti dengan dinding yang baru, maka hanya diolesi oleh semen putih. Ambruknya tembok itu hanya nunggu waktu saja. Dan setiap detik beberapa orang diintai oleh bahaya, jika sewaktu-waktu tembok itu rubuh.
Dinding kelas tidak jelas lagi apa warna catnya. Putih atau coklat muda, yang jelas tampak di mata kami, kusam. Lantai kelas berupa tanah yang ditutup semen saja, tidak ada keramik, apalagi marmer. Lantai itu pun sudah sangat tua, sehingga ada yang pecah di beberapa bagian. Bahkan di salah satu sudut kelas, pecahannya besar dan berbahaya jika tidak hati-hati berjalan.
Atap kelas pun sudah banyak yang bocor. Jika hujan besar, proses belajar mengajar pun dihentikan. Kami berkumpul di pojok kelas yang masih menyisakan genting yang utuh. Menunggu hujan berhenti, kemudian melanjutkan belajar jika ruang kelas sudah dibersihkan terlebih dahulu. Tetesan air hujan, masuk ke sela-sela genting yang bocor, sedikit demi sedikit kelas pun banjir.
Awalnya kami sedih setiap hujan turun. Lama-lama, kami bisa kompromi dengan kondisi ini. Kami tidak mengeluh lagi ketika hujan turun. Begitu pun ketika harus gotong royong membersihkan kelas. Inilah bagian dari keindahan hidup itu. Kami berusaha untuk mengambil sisi positifnya, bahwa tidak semua orang punya pengalaman seperti kami. Kesulitan yang kami hadapi, memperkaya pengalaman hidup. Indah, bukan?
Sambil menunggu hujan reda, kami biasanya berbagi cerita. Ada saja pertanyaan anak-anak yang menggelitik. Terkadang kami pun berlomba membuat pantun. Atau kami melamun berjamaah, sambil memandang cucuran air hujan di luar sana.
Perpustakaan sekolah berada di ruangan paling ujung. Buku-buku yang ada di perpustakaan hanya buku-buku pelajaran bantuan dari pemerintah. Jarang sekali ada siswa yang membaca di sini. Biasanya siswa hanya mengambil buku paket untuk dibawa ke kelas. Setelah selesai buku paket tersebut dikembalikan lagi ke ruangan ini.
Ruangan guru, bangunannya terpisah dari ruangan kelas. Ukurannya lebih kecil dibandingkan ruang kelas. Sofa kecil diletakan di pojok ruangan. Beberapa meja guru berjejer mengitari separuh ruangan. Di pojok kanan ada ruangan kecil yang di sekat, itu adalah ruangan kepala sekolah kami. Benda paling berharga di ruangan ini, bahkan di seluruh sekolah ini adalah pesawat telpon. Saking berharganya, benda kecil ini diletakkan di dalam ruangan kepala sekolah. Benda kecil ini terkunci, sehingga tidak sembarang orang bisa menggunakannya. Namun ada alat yang digunakan agar si kecil ini bisa dipakai. Di laci meja ada sebuah garpu yang sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa menembus pengaman telpon dan memijit angka-angka yang ada di pesawat telpon J.
Aku pernah berhutang budi pada si garpu ajaib ini. Ketika harus menghubungi guru yang lain, sedangkan kunci pengaman telpon dibawa oleh bapak kepala sekolah. Akhirnya si garpu pun beraksi. Sampai sekarang aku tidak tahu, siapa pemilik si garpu ajaib ini.
Di ruangan guru ini, para guru sering berkumpul. Menunggu jam pelajaran atau ketika istirahat. Karena sofanya kecil, maka tidak semua guru bisa duduk. Ruangan ini pun berfungsi untuk menerima tamu. Jika ada orangtua murid, atau tamu lainnya, maka akan diterima di ruangan ini.
Satu-satunya hiburan bagi kami adalah kantin. Kantin yang berada di samping sekolah itu, menyediakan berbagai jenis jajanan yang enak. Harganya pun terjangkau oleh saku anak sekolahan. Bukan hanya siswa yang jajan di sana, guru-guru pun mengandalkan pasokan makanan dari kantin. Bi Mar, pemilik kantin terkenal pandai masak. Semua makanan yang tersedia di kantin, merupakan hasil karyanya. Selain pandai masak Bi Mar pun ramah dan pemurah. Aku sering menjadi ‘korban’ untuk mencicipi hasil masakannya, tentunya senang banget menjadi ‘korban’ Bi Mar he … he …
Suatu pagi, Bi Mar memanggil saya, “Bu sini! Ini saya buat kue, ayo cicipin!” Bi Mar menyodorkan toples berisi kue.
“Wah Bi Mar nih, pagi-pagi sudah buat kue, emang ga ada kerjaan lain apa?” Kata Pak Heri, bercanda.
“Lah pan ini kerjaan saya Pak, he … he …” Jawab Bi Mar sambil ngikik.
“Wah enak banget Bi kuenya.” Kataku sambil mengacungkan jempol.
Bi Mar tersenyum bahagia. Baginya kebahagiaan tersendiri jika makanan buah karyanya dipuji orang.
“Besok saya mau bikin resep baru Bu, pokonya di daerah sini belum ada yang bisa buat.” Katanya, tangannya cekatan mengangkat gorengan dari atas wajan.
“Siiip Bi, jangan khawatir saya siap menjadi orang pertama yang nyicipin.” Jawabku, sambil asyik menikmati kue bikinan Bi Mar.
“Bu nanti kalau kawinan, biar saya yang buat kuenya, ya?” Kata Bi Mar, sambil meletakan gorengan di atas meja.
“Oh Ibu mau menikah toh?” Tanya Pak Heri serius.
Tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Cepat-cepat aku minum air putih. Pak Heri dan Bi Mar terkekeh melihatku salah tingkah.
“Iya atuh Pak mau nikah, tapi entah kapan, doakan ya.” Jawabku setelah tenggorokan terasa lega.
“Semoga cepat-cepat ya, Bu …” Kata Pak Heri
“Amin …” Jawabku singkat.
Kebersamaan seperti itu, menjadi salah satu sebab aku betah di sekolah ini. Semua guru-guru akrab, bagaikan dengan saudara. Begitu pun dengan Bi Mar, pemilik kantin. Apalagi dengan anak-anak. Aku sangat akrab, mereka sering main ke rumah. Curhat masalah keluarga atau masalah pelajaran. Aku merasa menemukan kebahagiaan yang belum tentu ada di tempat lain.
Walaupun sekolah ini hampir rubuh, namun kami begitu mencintainya. Sekolah ini berjasa besar pada penduduk di sekitarnya. Keberadaannya menjadi solusi bagi anak yang kurang berprestasi dan tidak mampu masuk sekolah negeri dan tak kuat bersekolah di swasta. Sekolah ini siap menampung, dengan bayaran yang sangat murah, sehingga terjangkau oleh masyarakat kecil. Dan hebatnya lagi, alumni dari sekolah ini banyak yang menjadi orang sukses. Diantaranya ada yang menjadi guru, pejabat,Kyai, bahkan anggota dewan, keren kan?
Pilihanku untuk mengajar di sekolah ini, sempat mendapat gugatan dari seorang teman. Ia heran, mengapa aku mau mengajar di sekolah yang sangat minim di matanya. Dengan prestasi yang kumiliki, menurutnya aku bisa mengajar di sekolah swasta yang terkenal dan memiliki fasilitas lengkap.
“Sekolah ini tidak menjanjikan masa depan yang cerah, kenapa tidak mengajar di sekolah yang lebih besar?” Protesnya padaku.
“Karena aku suka mengajar di sini.” Jawabku singkat.
“Mau sampai kapan di sini?”
Aku mengangkat bahu.
“Walaupun kamu mengajar di sini ribuan tahun, tidak akan pernah bisa mencukupi kebutuhanmu. Realistislah!” Lanjutnya lagi, dengan nada lebih tinggi.
Aku tidak menjawab. Apa yang dikatakannya betul semua. Aku tidak akan pernah bisa mencukupi hidupku dengan mengandalkan gaji dari sekolah ini. Jangankan untuk membeli keperluan hidup, untuk ongkos saja tidak cukup.
Setiap bulannya, aku mendapat gaji tidak lebih dari 70 ribu rupiah. Padahal mengajar sebanyak 24 jam pelajaran setiap minggunya. Uang sebesar itu, tidak cukup untuk ongkos pergi ke sekolah pulang-pergi. Beruntunglah, bapa masih mau membantu. Untuk menghemat pengeluaranterkadang, pulang sekolah aku berjalan kaki sekitar 4 Km.. Wajar temanku protes keras, karena menurutnya aku bisa mendapatkan gaji yang jauh lebih layak jika bekerja di kota besar.
Aku juga manusia biasa, terkadang terlintas keinginan untuk mendapatkan penghasilan lebih banyak. Tapi aku berpikir, jika semua orang mengambil keputusan seperti itu, bagaimana nasib sekolah-sekolah kecil di pedesaan. Sekolah-sekolah ini tidak akan berjalan, tanpa adanya tenaga guru. Lalu bagaimana nasib anak-anak desa pewaris bangsa? Bukankah mereka pun memiliki hak yang sama, untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Anak-anak ini memiliki harapan dan cita-cita, haruskan kandas karena tidak ada lagi guru yang mau mengajar.
Sekolah kami memang hampir rubuh. Temboknya retak, gentingnya bocor, lantainya pecah. Tapi kami akan tetap di sini, mengabdi selamanya demi cita dan harapan. Kami bertahan karena rasa cinta kami pada anak-anak yang memiliki semangat luar biasa. Mereka pun harus berjuang untuk sampai ke sekolah. Mereka tidak bermodalkan uang untuk sekolah, tapi bermodalkan semangat yang membaja. Binar di mata mereka, adalah hiburan yang tiada bandingnya buat kami. Kesungguhan mereka belajar, sanggup membasuh letih yang mendera. Sungguh cintalah yang membuat kami terus bertahan